UA-72643545-1

Photo

Thursday 26 February 2015

Senandung Memotret Dengan Kecepatan Rendah

Sebenarnya ini salah satu teknik dasar dalam memotret. Ingat dengan "makin lambat sebuah kecepatan/shutter/speed, maka semakin banyak cahaya yang akan terekam" ?. Kadang ada pertanyaan (terutama buat pemula, tapi banyak juga kok yang sudah lama memotret malah jarang menggunakan teknik ini), Bagaimana sih caranya memotret slow speed, saya udah sering (mempraktekan) tapi kok sering goyang, fotonya malah gak karuan. Demikian kira-kira pertanyaan yang sering penulis terima. Secara logika saja , pada kamera kecepatan lambat itu tentu rentan dengan guncangan dan gerakan, baik yang berasal dari kamera (saat menekan shutter atau tersenggol) dan juga dari moment yang sedang kita foto. Pahami itu dulu. Sebagai contoh, saat menekan shutter, kecepatan pada 1/60 tentu akan lebih terasa cepat diagframanya terbuka dibanding dengan 1/15 atau bahkan dibawah nilai tersebut, dimana diagframa terbukanya agak lama. Nah saat diagframa terbuka dengan shutter rendah, disitulah rentan dengan guncangan. Tapi justru banyak foto bagus-bagus dengan menggunakan teknik ini. Pembaca ( yang baru belajar motret) jangan berpikir seperti ini, ya terang aja tempatnya bagus atau hanya sekedar mengagumi saja foto tersebut tapi tidak pernah mencoba. Atau mencoba tapi nunggu hunting ramai-ramai, atau nunggu ke tempat seperti yang ada difoto yang dilihat. Kelamaan kalau begitu. Kita mulai foto dengan tekhnik seperti ini dari tempat terdekat kita bahkan di kamar sekalipun. Penulis mencoba berbagi foto dengan menggunakan teknik seperti ini.

Tuesday 24 February 2015

Senandung Memotret Wayang Orang (Tips dan Trik)

Wayang orang adalah sebuah seni pertunjukan, yang bisa dimainkan dimana saja. Baik ditempat terbuka atau tertutup dengan bentuk panggung atau tempat biasa. Dan disetiap tempat tersebut akan mempunyai cahaya yang berbeda-beda pastinya. Tapi jujur saja, penulis sempat mengalami kesulitan tersendiri dalam memotret wayang orang. Bukan masalah teknis memotret, tapi dasar memotret wayang orang itu ternyata kita harus (minimal) mengetahui cerita yang akan dibawakan. Dengan kita tahu sebelumnya tentang sebuah cerita, kita bisa tahu, apa-apa adegan yang bakal ditampilkan. Walau sebenarnya itu belumlah cukup. Tapi syarat bisa memotret wayang orang adalah, sering-seringlah memotret wayang disetiap ada pertunjukan tersebut. Itu syaratnya. Dan ketika memotret wayang orang ini, penulis hanya berbekal sedikit sekali tentang masalah perwayangan.Itupun didapat dari almarhum Bapak saya sendiri dan duluuuu sekali. (Makasih Mbah Atung untuk semua ilmu yang sudah diberikan ke saya). Tapi penulis mencoba berbagi untuk pemotretan kali ini. Pemotretan dilakukan di Wayang Bharata Purwa Jakarta, dengan lakon saat itu Gatotkaca Lahir. Penulis tidak membahas banyak tentang isi cerita dari lakon tersebut dan tidak menampilkan semua foto babak demi babak selama pertunjukan (Wayang Orang biasanya terdiri dari enam babak bahkan lebih).

memotret wayang orang
Rapat Para Raksasa dalam babak pertama dari cerita Gatotkaca Lahir.
f;5,6 1/30 ISO 200 lensa 70-300mm

Seperti halnya dengan pertunjukan-pertunjukan lain, pertunjukan biasanya ada prolog (pembukaan). Dan prolog di wayang orang ini bisa juga menggambarkan suatu kejadian yang justru berkaitan antara babak yang satu ke babak berikutnya. Babak pembuka akan diisi dengan bunyi dan tetabuhan gamelan serta suara pesinden dan diikuti pada penggung suasana dengan background yang menggambarkan awal cerita dimulai, bisa berupa kerajaan, hutan, gunung, dll. Penulis di babak awal ini masih terdiam dan masih mencoba

Mari Kita Nonton Wayang Orang

memotret wayang orang Bharata Jakarta
Marsam Mulyoatmodjo Ketua Paguyuban Wayang Orang Bharata Purwa Jakarta
Wayang orang belumlah habis. Marsam Mulyoatmodjo adalah salah satu saksi hidup, mulai masa jayanya wayang orang, runtuhnya, bahkan bangkitnya kembali wayang orang. Pria yang juga pernah ikut jadi pemain ludruk dan ketoprak bercerita, di tahun 60 sampai 70an dulu di daerah Jawa ada ratusan group wayang orang profesional. Tahun 1974 mulai group wayang berguguran satu persatu. Dan saat ini untuk group yang profesional hanya tinggal Wayang Bharata Purwa di Jakarta, Pandowo di Semarang dan Sriwedari di Solo. Profesional disini maksudnya adalah mempunyai panggung sendiri dan rutin mengadakan pertunjukan. Pernah mengalami masa sulit yaitu sewaktu masa reformasi 1998. Karena keadaan saat itu terjadi suhu politik yang memanas. Sehingga penonton yang datang untuk menonton pertunjukan tidak banyak . "Tapi kita tidak mengenal paceklik. Mau yang nonton hanya dua orang, kami tidak perduli, pertunjukan tetap harus berjalan" jelas lelaki yang termasuk pemain senior selain Ki Slamet dan Aris Mukadi. Di era sekarang, wayang orang rupanya mulai eksis kembali, sebagai contoh di Jakarta ini, ternyata sekarang banyak group-group amatir wayang orang. Dimana mereka sering berlatih entah untuk manggung atau sekedar berlatih.

Sunday 22 February 2015

Senandung Cerita Foto Wayang Orang Bharata #Backstage



foto make up di Wayang Orang Bharata
Gedung Wayang Orang Bharata Purwa di Jalan Kalilio Senen Jakarta Pusat
Sekian puluh tahun penulis hidup di Kota Jakarta. Dan sudah keberapa ratus kali melewati sebuah gedung tua di bilangan Senen Jakarta, tepatnya di Jalan Kalilio. Tak sekalipun penulis pernah melihat kedalam atau menyambangi tempat ini. Apalagi menonton pertunjukan wayang orang yang memang menjadi tontonan andalan. Wayang Orang Bharata Purwa, itulah nama gedung tersebut. Dan ketika diajak seorang teman (Makasih buat Dimas), penulis tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Perlengkapan memotret dibawa hingga tripod. Pikiran sudah mengawang ingin motret ini itu ketika sampai dilokasi nanti. Jujur saja, tidak ada gambaran sama sekali untuk memotret pertunjukan wayang orang. Berbagai pertunjukan panggung, pernah penulis potret. Tapi untuk motret wayang orang, penulis sempat mengernyitkan dahi. Bisa apa gak ya ? Kira-kira motret apa selain pertunjukan tersebut. Dan akhirnya, penulis pun akhirnya menyusun berbagai rencana. Mulai dari ketemu dengan pihak Wayang Orang Bharata, sekedar bertanya apa dan bagaimana cerita tentang Wayang Orang Bharata Purwa, lalu memotret beberapa persiapan jelang pertunjukan, dan juga memotret pertunjukan tersebut tentunya. Dan untuk tulisan Wayang Orang Bharata ini, penulis akan bagi beberapa bagian. Untuk yang pertama, penulis ingin berbagi tentang persiapan di belakang panggung sebelum mereka mementaskan pertunjukan tersebut. Dan sebelumnya terima kasih juga buat Mba Wita fotografer Wayang Orang Bharata, lalu Mas Aji dan juga Rudolf (fotografer khusus panggung) yang sudah kasih kesempatan untuk penulis berkunjung ke tempat ini.

Friday 20 February 2015

Senandung Sisi Lain Cerita Anak Pinggir Pantai


foto pantai. memotret pantai. Pantai Teluk Penyu Jateng
Suasana Pagi di Teluk Penyu. Exposure kamera pada f;5,6 1/40 ISO 200
Memandang laut lepas, tak hentinya berdecak kagum. Penuh ragam jika memandang kedepan. Penuh warna dari sudut sinar cahaya. Dan mata sepertinya tak henti memandang sekeliling. Begitu Maha nya Sang Pencipta. 

Terbentang sebuah gambaran hidup dari tepi laut. Hidup yang penuh tantangan, hidup yang memang harus dijalani sekeras apapun. Dan mereka para penduduk tepi pantai mengenal betul betapa kerasnya hidup. Pergi melaut, menjala ikan, kemudian kembali lagi ke daratan untuk menjual hasil tangkapan, semua dilakukan hampir tiap hari. Cuaca bagus dan musim ikan adalah sesuatu yang membahagiakan mereka. Dengan hasil tangkapan yang banyak, setidaknya para nelayan tersebut bisa mencukupi kebutuhan keluarganya. Tapi bila cuaca buruk, mereka juga kadang tetap harus pergi melaut. Semua dilakukan demi keluarga walau harus bertaruh nyawa. Itu sepenggal cerita dari kehidupan mereka yang memang mengandalkan laut sebagai tempat mencari nafkahnya. Dibalik semua itu, mereka sebenarnya juga ingin punya kehidupan yang lebih baik, terutama untuk anak-anak mereka. Anak-anak yang memang butuh makan, anak-anak yang memang harus sekolah serta anak-anak yang memang harus menikmati "dunianya" anak-anak sebagaimana mestinya. Kehidupan anak-anak di tepi pantai penuh kegembiraan dan permainan. Mereka begitu menikmati dunianya. dunia laut. Bukan seperti anak-anak kota yang sudah terpapar permainan gadget, televisi, game console. Bukan seperti anak-anak kota yang tiap minggu harus ke mal atau ke tempat permainan yang lebih "bergengsi". Anak-anak laut bukan tak ingin seperti itu, mereka juga ingin, bahkan sangat ingin. Saat penulis berada di pantai ini, penulis sempat bertanya kepada salah satu anak yang sedang bermain. "Kamu sudah pernah ke Jakarta ?". Dijawab, belum. "Kalau kamu ke Jakarta, inginnya kemana ?". Jawabannya singkat, tapi bikin hati agak miris. "Aku pengin lihat Monas". Keinginan yang tak begitu muluk. Seperti kehidupan mereka sehari yang memang tak terlalu muluk-muluk. Sehabis pulang sekolah, mereka biasanya akan menuju pantai bersama teman-teman. Atau yang sekolahnya berangkat siang, mereka sempatkan untuk membantu ayah mereka sekedar membawakan hasil tangkapan .

Wednesday 18 February 2015

Senandung Profil Adhitiya Wibhawa

Sang Jawara Lomba Foto yang Pernah Terpuruk

Mulai bulan ini, penulis mencoba berbagi cerita tentang para fotografer yang penulis temui. Kisah dan perjuangan mereka dalam mendedikasikan waktunya untuk kemajuan fotografi di Indonesia. Pengalaman mereka dalam memotret sehingga menghasilkan karya yang patut dilihat dan ditiru oleh pembaca, terutama buat yang ingin belajar fotografi.

Profil pertama, penulis mulai dari Adhitiya Wibhawa. Pria dengan panggilan akrab Adit ini, ditemui disebuah kafe bilangan Jakarta. Dia salah satu dari sekian banyak fotografer yang memotret untuk kepentingan lomba. Bukan sembarang lomba yang diikutinya. Tapi lomba foto on the spot. Motret dan langsung diserahkan saat itu juga untuk dinilai oleh juri. "Saya senang dengan setiap lomba foto yang diadakan, tapi lomba foto yang on the spot ya" tuturnya. Ketika ditanya lebih jauh, kenapa memilih lomba foto, ia menjelaskan bahwa kekurangan dirinya adalah tidak begitu bisa dalam hal edit di software. Makanya ia lebih mempercayai kemampuannya dalam memotret dengan teknik yang ia punya. Mengenal fotografi dari sepupunya, ia banyak belajar dengan mengikuti berbagai hunting yang diadakan dan juga sempat kursus fotografi di beberapa tempat di Jakarta. " Saya selalu ikut hunting foto yang diadakan dan saya tidak perduli dengan tema huntingnya, yang saya inginkan adalah saya hanya ingin mempraktekan dan mengasah teknik saya yang pernah saya pelajari" jelasnya. Awalnya ikut lomba foto pun sebenarnya dari workshop yang pernah ia ikuti. Pertama ikut lomba dan langsung menyabet juara pertama di tahun 2010. Dan itulah titik awal akhirnya berpikir untuk mencoba mengikuti lomba-lomba foto yang lain. Dan tekadnya untuk selalu mengikuti lomba foto on the spot ternyata berbuah manis.

Tuesday 17 February 2015

Senandung Foto Terakik-akik (baca Demam Batu Akik)


Demam Batu Akik

foto human interest. Trend Batu Akik. Pasar Rawabening Jakarta




















Harus diakui, dari hari ke hari, demam batu akik sepertinya tidak pernah surut. Malah semakin "menggila". Entah sudah berapa milyar perputaran uang yang beredar di bisnis batu akik. Semua sekarang jadi pintar berbicara batu akik. Entah dari jenisnya, entah harganya, entah cara menggosoknya, entah cara menentukan batu itu asli apa tidak. Bisnis batu akik pastinya kian menggeliat saja di tahun 2015. Penulis juga kadang tertawa sendiri, bila mengingat beberapa teman atau sahabat yang dulu sangat sangat jauh dari batu akik, sekarang begitu gamblang dan begitu fasihnya berbicara mengenai batu akik. Bahkan ada seorang sahabat yang sebenarnya adalah seorang musisi. Dulu kemana-mana kalau gak bawa gitar ya biola. sekarang bawanya ya biola dan ....batu akik. Belum lagi seorang sahabat lama, dulu lebih fokus bekerja di ladang miliknya sendiri, bertanam lada dan kopi. Sekarang, disela-sela kesibukannya sebagai petani, malah buka pengasahan dan pemolesan batu akik.

Friday 13 February 2015

Senandung Roda Kehidupan Penjahit Pinggir Jalan (Foto Human Interest)

Foto Human Interest. Kisah penjahit


Menyusuri jalanan Ibukota Jakarta selalu saja ada yang menarik perhatian penulis. Dan suatu hari, langkah kaki terhenti dipinggir jalan daerah Manggarai. Berjejer sekitar lima penjahit pinggir jalan dengan kesibukan masing-masing. Ada yang sedang menikmati kopi pagi, ada yang sedang mempersiapkan alat-alat kerja, bahkan sudah ada yang  menerima order menjahit hari itu. Sementara tenda seadanya mereka pasang untuk sekedar terhindar dari terik matahari dan hujan. Wilayah ini memang terkenal dengan tempat mangkalnya para penjahit pinggir jalan. Dengan bermodal mesin jahit tua, lalu perlengkapan menjahit seperti benang beraneka warna, jarum, gunting, pisau, mereka "berjibaku" mengais rejeki dari keterampilan mereka menjahit. Salah satunya adalah Mbah Roni (76 tahun). Pria usia lanjut asal Kebumen Jawa Tengah ini pun mencoba mengadu nasib di hingar bingarnya Ibukota Jakarta. Mengawali kerja sebagai tenaga bangunan ketika pertama kali datang ke Jakarta, dan ketika usia terus merambat sementara tenaga sudah hampir "habis" membuat Mbah Roni banting setir menjadi seorang penjahit di tahun 80an. Semua ia lakukan demi untuk menyambung hidup  keluarganya di kampung sana. " Saya sudah tua Mas, tenaga saya sudah kalah dengan yang muda-muda, kebetulan saya bisa menjahit sewaktu muda, jadi saya gunakan kebisaan saya ini (menjahit)" Mbah Roni  mengawali pembicaraan sembari menyalakan rokoknya. Tak lama kemudian datang seorang pria menghampiri Mbah Roni.